Marketing Inklusif Membawa Dampak yang Nyata

Marketing Inklusif Membawa Dampak yang Nyata

POSTED IN

Marketing

WRITTEN BY

Nay Madani

DATE

Ada kelompok masyarakat yang cukup besar yang belum merasa terwakilkan karena adanya stereotipe. Mengapa hal itu bisa terjadi? Selama bertahun-tahun, media selalu menggunakan kelompok demografis tertentu untuk mendeskripsikan sesuatu, tidak inklusif. Misal, kecantikan selalu direpresentasikan oleh perempuan muda berkulit halus dan cerah; atlet selalu diwakilkan oleh orang yang kuat, sehat, dan sempurna secara fisik. Padahal, pada kenyataannya tidak selalu seperti itu.

Secara harfiah, inklusif berarti ‘termasuk’, tidak ada yang terabaikan. Sedangkan dalam kasus ini, dengan adanya stereotipe pada konteks ‘cantik’ yang dibentuk oleh media dan masyarakat, maka orang-orang yang tidak memenuhi kriteria tersebut justru terabaikan dan dianggap tidak memenuhi standar kecantikan. Padahal, faktor-faktor seperti umur, warna kulit, jenis kelamin, dan keadaan fisik seseorang seharusnya tidak menjadi penghalang.

Apakah berkulit gelap tidak cantik? Cantik. Apakah kalau sudah tua tidak bisa terlihat cantik lagi? Cantik. Apakah hanya yang bertubuh langsing saja yang bisa dianggap cantik? Cantik. Karena sejatinya kecantikan adalah sesuatu yang subjektif dan tidak dibatasi oleh standar-standar superfisial.

Isu seperti inilah yang sedang diangkat oleh salah satu produk kecantikan ternama di dunia: L’Oreal.

L’Oreal dalam Mengangkat Isu Inclusivity

Baru-baru ini L’Oreal meluncurkan produk terbarunya Age Perfect Rosy Oil-Serum melalui sebuah campaign. Pada prosesnya, L’Oreal menggandeng 10 influencer berumur 45 sampai 84 tahun. Alhasil, L’Oreal banyak mendapat perhatian media, berhasil membuat desas-desus yang cukup ramai di jagat maya, dan menuai banyak pujian dari warganet.

Merupakan sebuah bentuk kerja sama dengan agensi influencer Billion Dollar Boy, campaign ini menyasar wilayah Eropa Utara, termasuk Swedia, Denmark, Norwegia, dan Finlandia. Melalui dorongan untuk mencintai diri dan kulit masing-masing, gerakan ini diluncurkan pada akhir tahun 2022 melalui serangkaian reels, story, dan postingan di feed Instagram.

“Banyak brand dengan produk anti-aging yang mempromosikan narasi bahwa perempuan berumur cenderung berusaha menghilangkan kerutan pada wajah. Namun, dengan peluncuran Rosy Oil-Serum, kami ingin merayakan dan mendorong narasi yang positif, penuh kepercayaan diri, dan cinta diri sebagaimana yang sudah audiens kami rasakan pada diri mereka—tak peduli umurnya.”

Gabriella Ostrenius, Social Brand Lead L’Oreal Paris Eropa Utara.

Kenapa Inclusivity Itu Penting?

Sering kali orang-orang merasa terkungkung di dalam stereotipe yang dibentuk oleh norma-norma masyarakat. Padahal, kenyataannya tidak seperti yang digambarkan dalam stereotipe. Kecantikan tidak terbatas pada mereka yang masih muda dan berkulit cerah. Meskipun sekarang orang-orang sudah banyak yang menerapkan praktik self-love atas kecantikan diri, belum banyak perusahaan yang mengambil peranan besar dalam membentuk standar kecantikan yang memecahkan cangkang stereotipe ini untuk lebih inklusif secara praktik.

Faktanya, riset dari Geena Davis Institute menemukan bahwa 85% perempuan merasa sosok perempuan yang tampil di iklan tidak mencerminkan diri mereka. Padahal, pada tahun 2019, Forbes mencatat hampir 50% dari seluruh perempuan di dunia berumur 45 tahun ke atas.

Ilustrasi perempuan paruh baya (Edward Cisneros/Unsplash)

Oleh karena itu, penting bagi perusahaan besar untuk turut mengangkat isu ini. Dari 2400 konsumen yang disurvei, 90% merasa bahwa perusahaan besar bertanggung jawab untuk mengubah dunia, termasuk menciptakan dunia yang lebih inklusif. Dengan adanya keberpihakan yang jelas, consumer loyalty pada suatu brand pun akan terdampak. Berdasarkan data dari Google/Ipsos Connect, 70% dari milenial berkulit hitam cenderung membeli produk dari brand yang mengangkat isu terkait ras.

Ilustrasi perempuan berkulit hitam (Jeffery Erhunse/Unsplash)

Menuju Dunia yang Lebih Inklusif

Pada akhirnya, sebuah label tidak semestinya eksklusif dimiliki oleh sekelompok orang tertentu. Dengan menciptakan produk yang inklusif, brand akan dipandang lebih positif oleh konsumen, yang kemudian dapat meningkatkan sales, revenue, dan metrik bisnis lainnya.

Melihat bagaimana orang-orang semakin melek atas isu-isu sosial yang ada dalam masyarakat, sekaranglah saatnya memanusiakan manusia. Terapkan inclusive marketing dalam strategi marketing brand-mu! Jadikan hal ini sebagai pengingat bagi masyarakat sekaligus pemicu bagi perusahaan lainnya untuk ikut mengangkat isu sosial yang kerap terabaikan.

Oleh karena itu, penting bagi perusahaan besar untuk turut mengangkat isu ini. Dari 2400 konsumen yang disurvei, 90% merasa bahwa perusahaan besar bertanggung jawab untuk mengubah dunia, termasuk menciptakan dunia yang lebih inklusif. Dengan adanya keberpihakan yang jelas, consumer loyalty pada suatu brand pun akan terdampak. Berdasarkan data dari Google/Ipsos Connect, 70% dari milenial berkulit hitam cenderung membeli produk dari brand yang mengangkat isu terkait ras.

Related Readings